Sudah sering kita mendengarkan
kata “masjid” dalam keseharian kita. Makna yang umum terbayang kira-kira adalah
tempat shalat, mengaji, atau ritual keagamaan lain umat Islam. Dengan
pengertian sederhana ini, makna masjid yang lebih substansial menjadi tak
begitu tampak. Tak sepenuhnya keliru dan salah, tapi juga belum mewakili makna
masjid secara utuh dan hakiki.
Masjid
berakar dari kata Sajada – Yasjudu yang jika diturunkan sampai pada
betuk isim makan (kata tempat) masjid. Arti sajada adalah
sujud, tunduk, patuh. Dengan demikian, masjid berarti sarana untuk menunaikan
segala aktivitas yang mencerminkan ketundukan kita kepada Allah. Ini menegaskan
bahwa masjid adalah tempat yang sangat terhormat dan suci.
Kemuliaan
masjid juga tercermin dari sejumlah ayat Al-Qur’an yang menyandarkan kata
“masjid” dengan Allah, seperti menyebut dengan frasa masâjida-Llâh (masjid-masjid
Allah), bukan masâjidal-muslimîn (masjid-masjid umat Islam).
Pakar tafsir Al-Qur’an Prof Muhammad Quraish Shihab mengatakan, kata masjid
terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ
لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
"Dan
sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu
menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS
al-Jinn: 18)
Penisbatan
nama Allah kepada masjid menunjukkan betapa Islam sangat memuliakan masjid.
Demikian luhur dan sucinya tempat tersebut hingga ada ketentuan dalam fiqih
tentang keharusan masjid steril daril najis dan orang berhadats besar. Kita
juga sering mendengar orang bilang “rumah Allah”. Tentu ini bukan secara
harfiah Allah bersemayam di dalam masjid, melainkan bermakna bahwa masjid
adalah rumah bagi hamba menjalin kedekatan dengan Allah.
Dengan
demikian, inti dari fungsi masjid adalah sebagai tempat menunaikan semua
aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan atau ketundukkan kepada Allah.
Tapi ini bukan berarti masjid diperuntukkan hanya untuk shalat, sebagaimana
disalahpahami sebagaian orang. Sebab bidang-bidang yang menunjukkan kepatuhan
tersebut sangat luas. Sejumlah kegiatan sosial atau aktivitas untuk
kemaslahatan publik termasuk bagian dari itu.
Masjid
didirikan di zaman Nabi tak hanya untuk shalat, melainkan juga menjadi sarana
forum-forum pendidikan, tempat menginap, pengelolaan dana umat, hingga
penyusunan strategi perang dan pengobatan korban luka para mujahid. Masjid pada
zaman Nabi juga menjadi wadah bertemunya seluruh umat Islam tanpa pandang suku
ataupun kelas sosial.
Masjid
pertama kali didirikan di Quba, kota kecil berjarak sekitar tujuh kilometer
dari kota Yatsrib. Proses pendiriannya dilakukan di tengah perjalanan hijrah ke
Yatsrib atau yang kemudian berganti nama menjadi Madinah. Dari masjidlah Nabi
meletakkan dua fondasi penting dalam satu tempat, yakni kepatuhan total kepada
Allah ﷻ dan kemaslahatan bersama bagi umat.
جُعِلَتْ لِيْ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Telah
dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian
diri.” (HR Bukhari)
Masjid
yang dikaitkan dengan bumi dalam hadits tersebut mengindikasikan bahwa ia
terikat erat dengan fungsi-fungsi sosial. Masjid tak digambarkan seolah hanya
bersifat “langit” tapi juga “bumi”. Kenyataan ini menegaskan bahwa Islam
menghendaki masjid untuk komunikasi vertikal sekaligus horizontal, hubungan
antara hamba dengan Allah sekaligus hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Belakangan
ini sering kita dapati masjid juga menjadi sarana untuk kampanye politik
praktis tertentu. Apakah yang demikian sesuai dengan fungsi masjid? Kita tahu
politik praktis erat kaitannya dengan politik dukung-mendukung kandidat,
saling menjatuhkan, jabatan lima tahunan, atau tujuan duniawi nan jangka pendek
lainnya. Mencermati hal demikian, masjid justru keluar dari fungsi hakikinya.
Berbeda
halnya jika politik yang dimaksud adalah politik tingkat tinggi, seperti seruan
akan persatuan di tengah umat yang majemuk, membangun semangat gotong royong,
mewujudkan keadilan sosial, memberantas korupsi, memerangi terorisme, dan lain
sebagainya yang merupakan sederet aktivitas yang berdampak maslahat luas, bukan
menguntungan golongan tertentu, apalagi sampai memecah-belah umat.
Indikator
bahwa Rasulullah tak menghendaki masjid untuk tujuan duniawi nan jangka pendek
adalah doa beliau ketika mendapati orang berjualan di masjid:
لَا أَرْبَحَ اللَّهُ
تِجَارَتَك
“Semoga
Allah tidak menguntungkan jualanmu.”
Ada
kemiripan yang sangat dekat antara kampanye politik dan aktivitas perdagangan.
Keduanya sama-sama sedang menjajakan “produk”, member tahu keunggulan-keunggulannya,
dan kadang ketika kalap bisa menjelek-jelekkan “produk” orang lain. Lingkup
keuntunganya pun sangat terbatas, baik perorangan atau sekelompok orang
tertentu.
Dengan
demikian sudah seyogianya kita bersama-sama menjaga kesucian dan kemuliaan
masjid dari berbagai hal yang tak mencerminkan ketundukkan kepada Allah. Masjid
adalah tempat untuk mengagungkan nama Allah, dan sarana membangun kemaslahatan
bersama, bukan keuntungan individu atau golongan. Mari kita bersama-sama
memakmurkan Masjid kita dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Wallahu
a’lam.
Masjid Sebagai Labolatorium Karakter Unggulan
Reviewed by Unknown
on
15.48
Rating:
Tidak ada komentar: