Dalam memahami masyarakat hukum adat, perlu kita ketahui terlebih
dahulu bahwa masyarakat hukum adat itu merupakan suatu masyarakat yang berdiam
dalam satu aturan tertentu yang ditaati dan diihami oleh masyarakat di lokasi
tersebut. Masyarakat hukum adat dibagi menjadi beberapa golongan diantaranya
masyarakat hukum teritorial, masyarakat hukum genealogis, masyarakat hukum
teritorial genealogis, masyarakat adat keagamaan, masyarakat adat perantauan,
dan masyarakat adat lainnya. Dalam kesempatan kali ini, kami ingin membahas
tentang kepengurusan masyarakat hukum adat dan pembagian wilayah hukum adat
menurut Van Vollenhoven yakni sebagai berikut:
A. Kepengurusan Masyarakat Hukum Adat Menurut Macam Masyarakat
Hukum Adat
1. Kepengurusan Masyarakat Adat Territorial
Susunan kepengurusan atau pemerintahan adat yang bersifat
territorial menunjukkan adanya jalinan hubungan kewargaan adat yang bersifat
kekeluargaan dalam ketetanggaan terdapat pada beberapa daerah berikut
diantaranya.
a) Daerah di Pulau Jawa
Di
Jawa dan Madura, suatu desa merupakan tempat kediaman yang meliputi beberapa
pedukuhan. Dukuh yang utama yakni tempet kedudukan kepala desa disebut krajan.
Sedangkan dukuh-dukuh lainnya terletak tidak begitu jauh dari pusat desa. Kepala
desa dijabat turun temurun yang disebut lurah, kuwu, bekel, petinggi dengan
staf pembantunya disebut carik atau juru tulis, kami Tuwa (kepala
pedukuhan), Bahu, Kebayan, Modin (urusan agama), Jogoboyo
(keamanan).
Para
warga desa di Jawa dapat dibedakan antara mereka yang disebut Kuli Kenceng
(pribumi, sikep, baku, gogol) ialah keluarga-keluarga terhomat pendiri asal
desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan, sawah, dan peladangan yang
luas. Mereka merupakan sesepuh desa dan menjadi pemegang kendali pemerintahan
desa.
b)
Daerah Aceh
Tempat
kediaman disebut mukim, atau daerah yang dahulu dipimpin oleh uleebalang.
mukim ini merupakan satu kesatuan dari beberapa gampong (kampung) dan
juga mennasah (lembaga agama). Setiap gampong dipimpin oleh seorang keucik
dan imeum sebagai imam atau teuku meunasah. Kepengurusan dari suatu gampong
dilaksanakan oleh keucik dan teuku meunasah yang didampingi oleh ureng
tuha (majelis tua kampung). Untuk mengatur kehidupan warga diterapkan hukum
adat dan hukum islam.
c)
Daerah Sumatera Selatan
Masyarakat
terdiri dari orang-rang palembang, Ogan, Pasemah, Semendo dan Komering yang
menyebut “Marga” sebagai desa yang terdiri dari beberapa dusun. Kepala
Marga disebut Pasirah, dengan gelar Pangeran atau Depati,
sedangkan para kepala dusun disebut Krio, mangku atau prowarin.
Para staf pembantunya disebut punggawa. Dalam susunan yang sama, hal ini
juga berlaku di Bangka dan Belitung.
d)
Daerah-daerah Melayu
Masyarakat
adat melayu tersebat diberbagai tempat, mulai dari medan, riau (pantai timur
sumatera sampai pantai timur kamimantan). Termasuk pula masyarakat adat yang
Goorontalo dipimpin oleh “Marsaoleh” yang kepal adusunnya disebut “Kimelaha”,
pelaksanaan pengurusan adat dibantu oleh “probis” dan tua-tua kerabat
yang disebut “tenggol”.
2. Kepengurusan Masyarakat Adat Hukum Genealogis
Merupakan suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, terikat, suatu garis keturunan yang sama dari
satu leluhur, langsung hubungan darah, atau tidak langsung yang berupa
perkawinan atau tali adat.
Masyarakat
hukum genealogis diantaranya adalah:
a)
Masyarakat hukum adat genealogis patrinial
Diantara
contoh daerah yang merupakan masyarakat hukum genealogis patrinial yaitu Batak,
Bali, Maluku, NTT dalan sebagainya.
b)
Masyarakat hukum adat genealogis matrinial
Diantara
contoh daerah yang merupakan masyarakat hukum genealogis matrinial yaitu
minangkabau dan sumatera utara
c)
Masyarakat hukum adat genealogis bilateral
Diantara
contoh daerah yang merupakan masyarakat hukum genealogis bilateral yaitu Aceh,
melayu, Jawa dan Kalimantan.
3. Kepengurusan Masyarakat Adat Territorial Genealogis
Susunan
kepengurusan dalam pemerintahan adat ini merupakan jalinan hubungan antara
kewargaan adat yang tidak hanya bersifat kekeluargaan dalam hubungan
ketetanggaan tetapi juga bersifat hubungan keturunan dan kekerabatan.
a)
Masyarakat hukum territorial asli atau tradisional
Kepengurusan
masyarakat tipe ini cenderung menekankan hubungan ketetanggan yang bersifat
keturunan dan kekerabatan. Di daerah Alas masyarakat adatnya terdiri dari
beberapa suku (keturunan) yang menjadi masyarakat territorial dengan
rumah-rumah kediaman penduduk dalam perkampungan yang masing-masing dipimpin
oleh Penghulu Suku sebagai Kepala Kampung. Masyarakat hukum terriitorial
asli atau tradisional menggunakan metode kepengurusan yang masih sederhana dan
biasanya dipimpin oleh seorang kepala desa.
b)
Daerah Batak
Kepengurusan
dalam pemerintahan adat batak dapat dibedakan menjadi 3 bidang yaitu bidang
urusan adat, bidang urusan pemerintahan, dan bidang urusan keagamaan.di daerah
batak sebelah utara, bagaian urusan
pemerintahan umum biasanya dipegang oleh wakil keturunan yang menguasai tanah,
marga tanah. Para wakil marga tanah ini yang secara turun temurun menjadi
kepala Huta (kuta) yang disebut “Raja ni Huta” atau “Raja
Urung” di Karo, atau “Sibayak” untuk bagian-bagian kerajaan.
c)
Daerah Minangkabau
Kepengurusan
terhadap anak kemenakan dalam keluarga (paruik) dipimpin oleh “mamak
kepala waris” yang terutama berkedudukan sebagai “tungganai” dari
suatu rumah gadang dalam satu kesatuan payung atau suku dibawah pimpinan
seorang yang berkedudukan sebagai penghulu. Dilihat dari sistem kepengurusan
dalam pemerintahan adatnya dapat dibedakan dari dua kelarasan yaitu laras
Bodicaniago dan laras Kotopiliang.
d)
Daerah Lampung
Dilingkungan
masyarakat adat pesisir kewargaan adatnya dibedakan menurut susunan “kesebatinan”
yaitu “kesebatinan marga”, “kesebatinan pekon”, dan “kesebatinan
suku” yang tetap tidak berubah. Sistem pemerintahan marga yang bersifat
territorial di lampung berlaku sejak 1952, pemerintah umum dilaksanakan oleh
seorang Camat yang membawahi kepala-kepala kampung, sedangkan
pemerintahan adat kekerabatan kembali semata-mata menjadi urusan para
penyeimbang adat menurut marga adatnya masing-masing.
4.
Kepengurusan Masyarakat Adat-Keagamaan.
a)
Lingkungan Masyarakat Kepercayaan Lama.
Masyarakat adat di
Indonesia walaupun sudah banyak menjadi penganut agama islam. Kristen/katolik
dan Hindu/Buddha. Masih banyak juga yang menganut kepercayaan lama yang
beranekaragam. Ada yang dianut bercampur dengan agama tanpa kesatuan
anggota dan ada pula yang merupakan
kesatuan-kesatuan warga sendiri, dengan memiliki kepengurusan sendiri,
memelihara dan memuja tempat atau benda keramatnya, sehingga mempunyai tata
tertib hukum keagamaan sendiri, yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Didaerah Minahasa
walaupun masyarakat adatnya pada umumnya sudah menganut agama kristen, masih
juga terdapat masyarakatnya yang percaya pada “opo” atau “datu” yaitu
ruh nenek moyang , dan ruh-ruh lain atau hantu-hantu yang disebut mereka “panunggu” , ”Lulu”, “Puntianak”, “pok-pok” dan sebagainya. Ruh-ruh nenek
moyang disebut “Mukur” dan berada
disekitar kediaman manusia. Menurut pemikikiran orang Minahasa “jiwa”
itu mempunyai tiga unsur, yaitu “gegenang” (ingatan), “pemendam”
(perasaan) dan “keketer” (tenaga). Orang mati yang ketika hidupnya baik
akan menjadi ruh yang baik, tetapi orang mati yang waktu hidupnya jahat atau mati karena bunuh diri atau karena
kecelakaan akan menjadi ruh yang jahat. Upacara pemujaan terhadap ruh , agar
lepas dari bencana atau tidak terkena penyakit, dilakukan oleh seorang dukun
yang disebut “Tonaas” atau “Walian”, yang mempunyai ilmu “Makatan”
yang dapat menyembuhkan dari berbagai macam penyakit.
Di pulau Sawu upacayra
terpenting adalah upacara kematian yang intinya pemutusan hubungan antara si
mati dengan keluarga yang ditinggalkan. Upacaraini disebut “pemou”, yang
dilakukan dengan seesajian , kurban hewan, dan ada pula yang dilakukan dengan
acara tari-tarian “ledo-ledo” (tari kematian). Upacara kematian ini ada tiga
tahap dengan acaranya masing-masing ,
yaitu ketika jenazah belum dikuburkan , ketika jenazah dikuburkan dan
ketika jenazah dikuburkan dan ketika jenazah telah
dikuburkan.
Upacara setelah
jenazah dikuburkan bermacam-macam diantaranya
dilaksanakan penyembelihan
kurban dengan pembagian dagingnya
sebagai berikut :
i.
Bagian
Kepala; mulai dari moncong (mulut) sampai telinga dan pangkal leher,
diperuntukkan bagi raja ,wakil raja, ketua adat, Tua-tua desa , dan orang asing
terpandang.
ii.
Bagian
Tumit, yaitu daging separoh dagu , mulai dari mulut sampai pangkal leher,
diperuntukkan bagi saudara lelaki tertua
dan orang-orang setingkat dibawah raja.
iii.
Bagian
Tinek; yaitu separoh tulang dada bersama beberapa tulang rusuk ,diperuntukkan
bagi permaisuri raja atau wanita terpandang dalam upacara serta para ibu dan bibik.
iv.
Bagian
Paeik; yaitu daging kaki dan paha tidak termasuk kuku diperuntukkan bagi
anak-anak.
v.
Bagian
Iko Tei Lolo; yaitu ekor serta sebagian isi perut diperuntukkan bagi para
gembala.
vi.
Bagian
tulang rusuk diperuntukkan bagi para tetangga.
b)
Lingkungan Masyarakat Hindu-Bali
Dari latar belakang sejarah
masyarakat Bali dapat dibedakan antara Bali Aga dan Bali Majapahit (Wong
Mojopahit).Orang-Orang Bali Aga kebanyakan mendiami pedesaan di daerah
pegunungan, seperti di Sembrian,
Cempaga, Sidatapa,pedawa, Tigawasa di kabupaten
Buleleng dan di tenganan pengringsingan di kabupaten Karangasem.
Sedangkan Wong Mojopahit yang penduduknya terbanyak mendiami daerah
dataran dan di sebelah barat pulau Lombok . Desa-desa di pegunungan pola kampung
atau perkampungan memusat , sedangkan desa-desa di dataran
terpencar-pencar dengan sistem banjar.
Masyarakat desa di Bali
bukan saja merupakan kesatuan tempat kediaman (terrtorial), tetapi juga
merupakan kesatuan kekerabatan yang patrilinial dan kesatuan adat dan keagamaan
Hindu. Desa-desa adat didaerah
pegunungan kecil-kecil dan anggota-anggotanya terbatas pada orang-orang
asli sedesa. Seseorang yang sudah kawin langsung menjadi warga desa adat (krama
desa) dan mendapat tempat duduk di balai desa yangdisebut “bale agung”
serta berhak mengikuti kerapatan desa.
Lain halnya dengan desa-desa adat ditanah datar yang tersebar luas
dalam kesatuan-kesatuan adat “banjar”. Keanggotaan banjar itu saja, ia
dapat menerima keanggotaannya dari orang-orang yang datang dari wilayah banjar
lain. Pusat dari suatu banjar ialah di “bale banjar” dimana para warga
banjar pada waktu-waktu tertentu mengadakan pertemuan. Kesatuan banjar dipimpin
oleh seorang kepala yang disebut “klian banjar” (kliang),suatu jabatan
berdasarkan pemilihan dari warga banjar untuk suatu masa jabatan yang
ditentukan.
Sistem kewangsaan tidak terdapat pada masyarakat pegunungan tetapi
nampak dikalangan masyarakat yang ebrasal dari majapahit. Orang-orang bali
dapat dibedakan antara keturunan brahmana, ksatria dan Weisha tergolong “Tri
wangsa” dan jumnya sedikit, Wangsa “Sudra” yaitu orang-orang jaba
yang jumlahnya banyak. Di masa lampau melaksanakan perkawinan diantara
setingkat kewangsaan antara pria dan wanita yang tunggal dadia (satu klen), tunggal
kawitan (satu asal) atau tunggal sanggah (satu kuil keluarga)
cenderung melakukan perkawinan diantara mereka. Bagi wangsa ksatria adalah “cokorda”
dan bagi wangsa Weisha adalah gusti. Bagi wangsa sudra adalah “pandetosan”,
“pasek gelgel”, “pula sari”, “kedisan”,” madang” dan sebagainya. Nama bagi
anak sulung yaitu putu, gedhe, atau wayan. Bagi anak kedua yaitu made,
bagi anak ketiga yaitu komang, nyoman dan bagi anak keempat yaitu ketut.
Di dalam kehidupan masyarakat adat bali sistem pemerintahan adat desa, “banjar”
dan “subak” terdapat pula berbagai kumpulan yang terlepas dari banjar dan subak
yang disebut “seka”, yang bersifat teta dan bersifat sementara.
c)
Lingkungan Masyarakat Kristen
Masyarakat adat penganut agama kristen di Indonesia dapat dibedakan
dalam dua golongan yaitu golongan masyarakat kristen katolik dan golongan masyarakat
kristen protestan. Berbeda dari umat islam, tidak terikat pada Masjid tertentu
semua Masjid yang arah kiblatnya ke Baitullah di Mekah adalah Masjid seluruh
umat islam. Sedangkan bagi umat kristen keanggotaannya terikat pada gereja
tertentu seperti umat katolik terikat pada gereja katolik dan begitu
sebaliknya. Kepengurusan dan keanggotaan umat katolik tersusun dalam kitab
hukum kanonik dari atas kebawah yaitu:
1.
Sri
Paus kedudukannya di Vatikan
2.
Kardinal
(dewan kardinal)
3.
Uskup
agung atau Uskup Metropolit terletak di ibu kota negara
4.
Uskup
Diosesan mengepalai di daerah propinsi yang dibantu oleh Uskup koajutor.
5.
Pastor
(gembala) di Keuskupan atau di kecamatan atau di pedesaan.
Umat Katolik pembinaan iman kristianinya dalakukanoleh pator gereja
suatu paroki dan para kapelan (pembantu rohaniawan) yang semuanya sebagai
penggembala-penggembala tanpa pasangan hidup maka bagi umat kristen protestan
pembinaannya dilakukan oleh para pendeta atau domine dan guru-guru injil pada
umumnya berkeluarag di lingkungan gerejanya masing-masing. Pada umunya
upacara-upacara keagamaan umatkristen pelaksanaan perkawinan dilaksanakan di
gereja sedangkan tidak diatur dalam kitab suci injil, seperti hukum waris, maka
umat kristen perpedoman pada hukum waris barat yang diatur dalam kitab
undang-undang hukum perdata (BW) atau berlaku menurut hukm adat setempat.
d)
Lingkungan Masyarakat Islam
Masyarakat adat di Indonesia adalah penganut agama islam, sehingga
hukum isalam dan hukum adat setempat berlaku berdampingan. Hukum islam yang
sifatnya nasional hanya nampak dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah ialah
dalam hukum perkawinan tentang akd nikah dengan ijab kabul dan perceraian
sedangkan pada hukum adat isalnya tentang upacara-upacara pewarisan dan
lain-lain. Penduduk yang menganut agama islam di aderah Aceh, Minangkabau,
Pasundan atau Jawa Barat mengadaakan ibadah bersama seperti pengajian-pengajian
dan tempat upacara-upacara keagamaan. Di kalangan masyarakat adat Jawa di
aderah Indonesia yang disebut “Islam Santri” dan “Islam Kejawen”
atau disebut “Putihan” (santri) atau “abangan” (tidak taat)
kebanyakan dari warga adat kejawen itu bersikap narimo atau menyerahkan diri
kepada takdir disamping itu masih banyak yang percaya pada alam (kesaktian),
percaya pada ruh-ruh leluhur, makhluk halus dan sebagainya. Untuk menghindari
gangguan yang buruk dari alam gaib maka diadakan kegiatan-kegiatan berprihatin
seperti berpuasa, berpantang,memelihara pusaka, memberikan sesajian, Upacara
keselametan atau sedekahan dan sebagainya.
Di daerah Indonesia yang menganut agama islam dikalangan pedesaan
sperti oarng-orang melayu di Sumatra, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Orang-orang Banjar di Kalimantan Selatan, orang-orang bugis Makasar di Sulawesi
Selatan, orang-oarang Gorontalo di Sulawesi Utara, Ternate di Maluku, di
Sumbawa dan Lombok yang diantaranya telah melaksanakan upacra-upacara adat
bukan tidak ada yang masih dipengaruhi kepercayaan-kepercayaan lama. Berbeda
dengan agama kristen dalam pelaksanaan ibadah atau upacara keagamaan seperti
melakukan sembahyang dan melaksanakan perkawinan tidak tergantung pada masjid
atau surau.
5.
Kepengurusan Masyarakat Adat Perantauan
Sudah sejak lama terjadi perpindahan nasyarakat adat dari daerah
yang satu ke daerah yang lain, karena berbagai alasan, terutama disebabkan mata
pencaharian. Misalnya perpindahan orang-orang Banten ke Lampung karena penyebaran Islam dan usaha pertanian
Lada. Perpindahan orang-orang Semendo dari pegunungan Dempo ke daerah
pegunungan Dempo ke daerah pegunungan Lampung pada akhir abad ke-19.
Perpindahan masyarakat adat dari daerah yang satu kedaerah yang lain setelah
kemerdekaan RI bertambah banyak terjadi baik yang diselenggarakan pemerintahan
dalam bentuk transmigrasi , maupun yang beralih sendiri karena kebutuhan hidup.
Masyarakat datang ke daerah laen ke daerah baru itu untuk untuk membangun
perkampungan dengan adat budaya asalnya. Sehingga adat Jawa Minanghasa ,
kampung Bugis di Bandar Lampung, kampungBali di jakarta dan sebainya.
Perkampungan itu masih tetap ada masih
tetpa hidup sebagaiman asalnya atau
bercampur aduk dengan masyarakat lainnya.
Perkumpulan kekeluargaan di bentuk oleh masyarakat adat dari suatu
daerah di tempat kediamannya yang baru
kebanyakan tidak lagi berdasarkan susunan kemmasyarakaatan merupakan
sudahterjadi perubahan adat, bertambah jauh tempat kediamannnya baru dari
tempat asalnya bertambah banyak perubahan adat budaya yang terjadi
banyak pergaulan dengan suku-suku bangsa lain bertambah banyak terjadi
perkawinan antar suku yang terjadi, dan berbeda pula acar penyelesaian hukum adat yang berlaku.
Pengurus perkumpulan menyelesaikan hubungan hukum yang terjadi dengan
orang-orang luar, misalnya adanya perselisihan kekeluargaan, perkawinan, dengan
perundingan musyawarah untuk mufakat dengan rukun dan damai di luar pengadilan.
Dapat kita lihat dari berbnagai perkumpulan masyarakat daeah di perantauan,
seperti dari Aceh, Batak, Minangkabau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung,
Banjar, Bugis dan lainnya di perantauan. Kesemuanya melaksanakan jalannya
organisasi perkumpulan kekeluargaan mereka berdasarkan anggaran dasarnya
masing-masing dan tidak lagi berpegang teguh pada hukum adat di daerah asalnya.
6. Kepengurusan
Masyarakat Adat Lainnya
a.
Mayarakat keorganisasian umum
Sejak
sebelum perang dunia pertama (1915 – 1918) rakyat Indonesia sudah mengenal
sistem organisasi yang modern dengan anggaran dasar dan susunan pengurus yang
teratur. Dimulai dari organisasi sosial budaya seperti Budi Utomo (1908);
organisasi berdasarkan agama seperti Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah
(1912), Nahdatul Ulama (1926); organisasi berhaluan politik seperti
Perserikatan Nasional Indonesia (1927) dan berbagai macam organisasi yang
bersifat kepemudaan dan kewanitaan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia,
organisasi-organisai modern itu semakin maju perkembangannya, baik yang
bergerak di lingkungan instansi-instansi pemerintah maupun swasta dan di dalam
kehidupan masyarakat umum. Susunan pengurus (Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan
para pembantu) dan para anggotanya, adakalanya juga menyelesaikan
peristiwa-peristiwa yang timbul di kalangan para anggotanya di luar ketentuan
organisasi dan peraturan perundangan negara.
b.
Masyarakat keturunan Cina
Masyarakat
adat keturunsn Cina di zaman Hindia Belanda kependudukannya digolongkan dalam
golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Orang-orang Cina memasuki
kepulauan Indonesia sebagai imigran berlaku sejak abad ke-16, terutama yang
terbanyak adalah suku Hokkien dari
propinsi Fu Kien Cina Selatan. Selain
suku Hokkien terdapat pula suku-suku yang lain seperti Suku Teo-ChiuHakka (Khek) dan Kanton (Kwong Fu). Diantara keempat suku
Cina ini bahasa dan adat budayanya berbeda-beda. Orang-orang Hokkien kebanyakan
menjadi pedagang, sedangkan orang-orang Teo-Chio, Hakka (Khek) dan Kwong Fu
kebanyakan menjadi kuli perkebunan dan pertambangan. Menurut catatan G.W.
Skinner tahun 1963, orang-orang Cina di Indonesia berjumlah 2.505.000 jiwa di
Jawa, Madura berjumlah 1.230.000 dan di luar Jawa-Madura berjumlah 1.275.000.
di setiap perkampungan Cina itu biasanya ada kuil (Kuil Tao, Kuil Buddha,
atau Kuil bagi orang yang diperingati karena jasanya).
Sistem
kekerabatan masayarakat Cina bersifat patrilinial dan virilokal yang terdiri
dari keluarga orang tua dengan anak lelaki sulung yang telah berkeluarga, atau
juga bersama adik-adiknya pria dan wanita yang belum berkeluarga atau yang
sudah berkeluarga. Kepengurusan masyarakat adat Cina disuatu daerah di masa
Hindia Belanda dipimpin oleh seseorang yang dipilih di antara mereka sebagai
kepalanya. Jabatan kepala masyarakat Cina oleh Belanda diberi pangkat sebagai “Wijkmeester” (Bek) setingkat kepala
kampung, kemudian diatasnya diberi pangkat Luitenant
dan Kapiten. Tugas mereka keluar ialah menjadi penghubung dengan pemerintah
Hindia Belanda atas nama warga masyarakatnya antara lain yang menyangkut
perpajakan. Sedangkan tugas kongkoan ke dalam ialah menjaga keamanan dan
ketertiban warga mayarakatnya dan mengurus urusan adat, keagamaan, perkawinan,
perceraian, dan menyelesaikan perselisihan secara damai. Masyarakat Cina di
Indonesia mempunyai berbagai perkumpulan berdasarkan keagamaan, perdagangan,
dan sosial politik antara lain sebagai berikut :
·
Tionghoa
Siang Hwee, yaitu perkumpulan seperti “kamar
dagang” yang anggota-anggotanya terdiri dari para pedagangnya.
·
Sam
Kauw Hwee, yaitui perkumpulan tiga agama
(Buddha, Kung Fu Tse dan Tao) yang bertujuan memelihara dan mengembangkan
ajaran-ajarannya terutama ajarang Kung Fu Tse.
·
Chung
Hua Hui, yaitu perkumpulan yang berdiri
sejak tahun 1927 dn mempunyai wakil di Volksraad (Dewan Rakyat) di mas Hindia
Belanda.
·
Badan
Permusyawaratan Kewargaan Indonesia (BAPERKI) didirikan pada tanggal 13 Maret
1954 dikarenakan dianggap terlibat gerakan PKI lalu dibubarkan pemerintah.
·
Lembaga
Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) didirikan tanggal 12 Maret 1963 dan bertujuan
asimilasi total minoritas Cina di Indonesia.
·
Chung
Hua Chi Tuh Chiao Hui merupakan
gereja Kristen Cina dan Chung Hua Chi Tuh Chiao Tsing Nien Hui, perkumpulan
pemuda Kristen Cina.
B.
Pembagian Lingkungan Adat Menurut Van Vollen Hoven
Pembagian
lingkungan hukum adat menurut Van Vollen Hoven dibagi menjadi
19 lingkungan hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah dimana garis-garis
besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah seragam yang oleh Van Vollen Hoven
disebut “rechtskring”. Setiap lingkaran hukum tersebut dibagi lagi
kepada beberapa bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau “Rechtsgouw”.
Ke-19 lingkaran hukum adat itu adalah:
1.
Iingkungan Hukum
Adat Aceh
·
Aceh Besar
·
Pantai Barat
·
Singkel
·
Semeulue.
2. Lingkungan
Hukum Adat Tanah Gayo, Alas, dan Batak.
·
Tanah Gayo (Gayo
Leus)
·
Tanah Alas
·
Tanah Batak (Tapanuli).
a. Tapanuli Utara:
1. Batak Pakpak (Barus)
2. Batak Karo
3. Batak Simelungun
4. Batak Toba (Simsir,
Balige, Laguboti, Lumban, Julu).
b. Tapanuli Selatan:
1. Padang Lawas (Tano Sepanjang).
2. Angkola.
3. Mandailing (Sayurmatinggi).
3. Lingkungan
Hukum Adat Nias (Nias Selatan).
4. Lingkungan
Hukum Adat Tanah Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar, Lima puluh Kota,
Tanah Kampar, Kerinci). Kepulauan Mentawai (Orang Pagai).
5. Lingkungan
Hukum Adat Sumatera Selatan
·
Bengkulu (Rejang).
·
Lampung (
Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang).
·
Palembang (Anak Lakitan,
Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).
·
Jambi (Batin
dan Penghulu).
·
Enggano.
6. Lingkungan
Hukum Adat Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang
Banjar).
7. Lingkungan
Hukum Adat Bangka dan Belitung
8. Lingkungan
Hukum Adat Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,
Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak
Penyambung Punan).
9. Lingkungan
Hukum Adat Gorontalo (Bolaang Mangondow, Boalemo).
10. Lingkungan
Hukum Adat Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja
Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
11. Lingkungan
Hukum Adat Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makassar, Selayar, Muna).
12. Lingkungan
Hukum Adat Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
13. Lingkungan
Hukum Adat Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru,
Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14. Lingkungan
Hukum Adat Irian.
15. Lingkungan
Hukum Adat Kep. Timor (Kepulauan Timor-Timor, Timor Tengah, Sumba Timur,
Kodi, Flores, Ngada, Riti, Sayu Bima).
16. Lingkungan
Hukum Adat Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem,
Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17. Lingkungan
Hukum Adat Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu,
Puworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18. Lingkungan
Hukum Adat Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
19. Lingkungan
Hukum Adat Jawa Barat (Pariangan, Sunda, Jakarta, Banten)
DAFTAR
RUJUKAN
Hadikusima,
Hilman. 2003. Pengantar Hukum Adat. Lampung: Mandar Maju.
Harr, Ter. Terjmahan Soebakti. 2013. Asas-asas dan Susunan Hukum
Adat; Beginselen En
Stelsel Van Het
Adatrecht. Jakarta: Balai Pustaka.
Zai, Eka. 2011. Pembagian Lingkungan Adat Menurut Van Vollen Hoven.
(Online) di akses
pada
laman www.eka-zai.blogspot.com/pembagian-lingkungan-adat-menurut-van-vollen-hoven/november/24/2011
pada 24 September 2014.
Kepengurusan Masyarakat Hukum Adat dan Pembagian Wilayah Hukum Adat Menurut Van Vollenhoven
Reviewed by Unknown
on
18.46
Rating:
Tidak ada komentar: