Saat ini, Indonesia terus
berkembang menjadi sebuah negara yang hidup berlandaskan nilai-nilai luhur
budaya bangsa,
dimana masyarakatnya secara umum dapat hidup tenteram, damai, dan saling menghormati antara satu dengan lainnya. Indonesia dikenal oleh dunia
Internasional sebagai negara yang patut dijadikan sebagai teladan dan model, terutama dalam menjadikan aspek
kebhinnekaan sebagai sumber kekuatan. Indonesia juga dipandang berhasil dalam meletakkan relasi agama
dan negara (ad-Din wa al-Daulah) secara pas dan ideal.
Di Indonesia, agama
tidak lagi dipertentangkan dengan negara. Nilai agama telah melebur ke dalam budaya lokal yang baik, melahirkan spirit wathaniyah (semangat nasionalisme) yang tumbuh-subur beriringan dengan nilai-nilai religiusitas. Hal itu
setidaknya tercermin dari petuah salah seorang pahlawan bangsa, KH. Wahab Chasbullah yang mengatakan: Hubbul
wathon minal iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman).
Sementara itu, ma’asyiral
hadirin, realitas sebaliknya terjadi di belahan dunia Islam lain, terutama
di negara-negara Teluk dan di negara-negara sekular. Hari ini negara-negara
Teluk, seperti: Afghanistan, Irak, Suriah, dan lainnya memasuki babak baru yang
disebut sebagai "failed-state", negara gagal, yang
diakibatkan oleh kekeliruan dalam menerapkan hubungan agama dan negara,
sehingga keduanya dipertentangkan satu sama lain yang berakibat chaos
dan kekacauan. Adapun di negara-negara sekuler yang hanya mengedepankan rasionalitas tanpa dimensi transendental agama justru melahirkan
titik balik peradaban yang tidak lagi "memanusiakan manusia".
Secara umum, ajaran Islam bercirikan
moderatisme (wasathiyyah), baik dalam aspek akidah, ibadah,
akhlak maupun muamalah. Dalam Q.S. al-Baqarah:143, Allah SWT berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ
“Demikianlah,
kami menjadikan kamu (wahai umat Islam), umat tengah (yakni umat yang adil dan
terpilih) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) umat manusia”
Wasathiyyah (moderasi) berarti sikap menjaga keseimbangan di antara dua
sisi yang sama tercelanya, yakni ekstrem kiri (yang cenderung terlalu longgar
dan liberal) dan ekstrem kanan (yang cenderung terlalu
ketat dan konservatif).
Karakter
ekstrem dalam beragama biasanya diikuti oleh sikap-sikap berikut. Pertama,
fanatik terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda; kedua,
berburuk sangka (su’uzhann/ negative thinking) terhadap orang
lain, karena menganggap dirinya yang paling baik dan paling benar; dan ketiga,
menganggap pihak lain yang tidak sepaham dengannya sebagai
orang yang sesat bahkan kafir sehingga halal darahnya. Hal ini tidak sesuai
dengan kesepakatan nasionalisme yang kita bangun atas dasar agama ketika ikrar
Proklamasi kita dengungkan.
Al-Quran
mengisyaratkan pentingnya sikap nasionalisme untuk mempertahankan kedaulatan
negara dalam berbagai ayat, diantaranya Q.S. al-Baqarah ayat 126 yang berbunyi,
وَإِذۡ
قَالَ إِبۡرَٰهِمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنٗا وَٱرۡزُقۡ أَهۡلَهُۥ
مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنۡ ءَامَنَ مِنۡهُم بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ قَالَ
وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلٗا ثُمَّ أَضۡطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ
ٱلنَّارِۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri
ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah
berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat
kembali"
Ayat
ini bukan saja berisi doa nabi Ibrahim untuk keamanan dan keselamatan kota
Makkah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya seorang muslim
mendoakan wilayah tempat tinggalnya agar diberikan keamanan dan keselamatan
serta penduduknya mendapatkan rezeki yang melimpah dari hasil kekayaan
negaranya tersebut. Dua hal di atas, rasa aman dari segala yang menggelisahkan
dan limpahan rezeki merupakan syarat utama bagi suatu kota atau wilayah dalam
mencapai kemakmuran.
Ketika rasul berhijrah ke Madinah, beliau dan para
sahabat Sholat menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina. Tetapi setelah 16 (enam
belas) bulan setelah hijrahnya rasul SAW, beliau rindu kepada Makkah dan Ka’bah
yang menjadi kiblat para leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab saat itu. Rasa cinta
tanah air Rasulullah terhadap tanah tumpah darahnya juga tampak ketika
meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke arah kota
Makkah beliau bersabda:
والله
انك احب ارض الله الي ولولا ان قومك اخرجوني ما خرجت
Artinya:
Demi Allah, Sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku
cintai, seandainya bukan karena mereka mengusirku, niscaya aku tidak akan
meninggalkannya.
Ketika telah sampai di Madinah,
beliau juga berdoa kepada Allah sebagaimana sabda beliau:
اللهم
حبب الينا المدينة كحبنا المكة واشد.
Artinya: Wahai Allah, cintakanlah kota
Madinah ini kepada kami, sebagaimana engkau mencintakan kami kepada kota Makkah
bahkan lebih dari itu (HR. Bukhari, Malik dan Ahmad).
Akhirnya, marilah kita
merenungkan kembali pilihan-pilihan fiqh al-da’wah (seni dakwah) kita selama
ini. Sudahkan pendekatan dan metode belajar mengajar kita mencerminkan
karakteristik Islam sebagai agama yang moderat, yang lebih mengedepankan
maslahat ketimbang spekulasi-spekulasi tindakan yang berpotensi menimbulkan
kemungkaran baru yang lebih berat dan serius. Semoga kita dapat meneladani
kearifan dan kebijaksanaan Rasulullah SAW dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar tanpa
kekerasan.
Lesson Learned: Moderasi Untuk Indonesiaku
Reviewed by Unknown
on
15.52
Rating:
Tidak ada komentar: