BERBAGI DAN MENGINSPIRASI

Melangitkan Pengetahuan Membumikan Inspirasi

Mahasiswa Bidikmisi Jadi Lulusan Terbaik Universitas Negeri Malang

16.31

M. Alifudin Ikhsan, Ia adalah lulusan terbaik Universitas Negeri Malang (UM) bidang akademik dan non akademik sekaligus. Mahasiswa Berprestasi peraih Bidikmisi ini menempuh program S1 dan S2 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Menggeluti dunia Karya Tulis Ilmiah Al-Quran sejak 2013 menghantarkannya meraih Gold Medal Indonesian Young Professional Paper Award dan sekaligus meraih The Most Creative Researcher di ajang yang sama pada 2017. Ia juga mengukuhkan namanya sebagai peneliti muda profesional bidang pendidikan dan pembelajaran melalui berbagai publikasi jurnal baik nasional maupun internasional bereputasi.


Saat ini, penulis sedang mengabdikan diri sebagai Guru PPKn di SMK Negeri 1 Malang dan pembina Karya Tulis Ilmiah Al-Quran Universitas Negeri Malang. Sebagai seorang praktisi pendidikan, ia juga rajin menghasilkan inovasi pembelajaran dan mendesiminasikannya di berbagai forum internasional. Berbagai hasil penelitiannya juga mendapatkan apresiasi dari Islamic Development Bank (IDB) dan berbagai lembaga penelitian.



Beberapa buku yang telah ia terbitkan diantaranya Divine Solutions From The Quran: Dialektika Langit dan Bumi (Dream Lintera, 2015); Membungkam Problematika Hidup: Agama, Bangsa dan Manusia (Cahaya Qurani, 2017); Ekologi Al-Quran (Bintang, 2016); Cerdas Bersama Al-Quran (Pustaka Intan, 2016); Pedoman Bimbingan Baca Al-Quran untuk Mahasiswa (Dream Lintera, 2016); dan berbagai hasil penelitian bereputasi. Ia juga sedang menyelesaikan buku Nasionalisme Agama: Teori dan Implementasinya. Mas Alif dapat dihubungi di um.alifudin93@gmail.com

Mahasiswa Bidikmisi Jadi Lulusan Terbaik Universitas Negeri Malang Mahasiswa Bidikmisi Jadi Lulusan Terbaik Universitas Negeri Malang Reviewed by Unknown on 16.31 Rating: 5

Lesson Learned: Moderasi Untuk Indonesiaku

15.52

Saat ini, Indonesia terus berkembang menjadi sebuah negara yang hidup berlandaskan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dimana masyarakatnya secara umum dapat hidup tenteram, damai, dan saling menghormati antara satu dengan lainnya. Indonesia dikenal oleh dunia Internasional sebagai negara yang patut dijadikan sebagai teladan dan model, terutama dalam menjadikan aspek kebhinnekaan sebagai sumber kekuatan. Indonesia juga dipandang berhasil dalam meletakkan relasi agama dan negara (ad-Din wa al-Daulah) secara pas dan ideal.

 Di Indonesia, agama tidak lagi dipertentangkan dengan negara. Nilai agama telah melebur ke dalam budaya lokal yang baik, melahirkan spirit wathaniyah (semangat nasionalisme) yang tumbuh-subur beriringan dengan nilai-nilai religiusitas. Hal itu setidaknya tercermin dari petuah salah seorang pahlawan bangsa, KH. Wahab Chasbullah yang mengatakan: Hubbul wathon minal iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman).

Sementara itu, ma’asyiral hadirin, realitas sebaliknya terjadi di belahan dunia Islam lain, terutama di negara-negara Teluk dan di negara-negara sekular. Hari ini negara-negara Teluk, seperti: Afghanistan, Irak, Suriah, dan lainnya memasuki babak baru yang disebut sebagai "failed-state", negara gagal, yang diakibatkan oleh kekeliruan dalam menerapkan hubungan agama dan negara, sehingga keduanya dipertentangkan satu sama lain yang berakibat chaos dan kekacauan. Adapun di negara-negara sekuler yang hanya mengedepankan rasionalitas tanpa dimensi transendental agama justru melahirkan titik balik peradaban yang tidak lagi "memanusiakan manusia".

Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderatisme (wasathiyyah), baik dalam aspek akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Dalam Q.S. al-Baqarah:143, Allah SWT berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Demikianlah, kami menjadikan kamu (wahai umat Islam), umat tengah (yakni umat yang adil dan terpilih) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) umat manusia”

Wasathiyyah (moderasi) berarti sikap menjaga keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya, yakni ekstrem kiri (yang cenderung terlalu longgar dan liberal) dan ekstrem kanan (yang cenderung terlalu ketat dan konservatif).

Karakter ekstrem dalam beragama biasanya diikuti oleh sikap-sikap berikut. Pertama, fanatik terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda; kedua, berburuk sangka (su’uzhann/ negative thinking) terhadap orang lain, karena menganggap dirinya yang paling baik dan paling benar; dan ketiga, menganggap pihak lain yang tidak sepaham dengannya sebagai orang yang sesat bahkan kafir sehingga halal darahnya. Hal ini tidak sesuai dengan kesepakatan nasionalisme yang kita bangun atas dasar agama ketika ikrar Proklamasi kita dengungkan.

Al-Quran mengisyaratkan pentingnya sikap nasionalisme untuk mempertahankan kedaulatan negara dalam berbagai ayat, diantaranya Q.S. al-Baqarah ayat 126 yang berbunyi,

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنٗا وَٱرۡزُقۡ أَهۡلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنۡ ءَامَنَ مِنۡهُم بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلٗا ثُمَّ أَضۡطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ 
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali"

Ayat ini bukan saja berisi doa nabi Ibrahim untuk keamanan dan keselamatan kota Makkah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya seorang muslim mendoakan wilayah tempat tinggalnya agar diberikan keamanan dan keselamatan serta penduduknya mendapatkan rezeki yang melimpah dari hasil kekayaan negaranya tersebut. Dua hal di atas, rasa aman dari segala yang menggelisahkan dan limpahan rezeki merupakan syarat utama bagi suatu kota atau wilayah dalam mencapai kemakmuran.

Ketika rasul berhijrah ke Madinah, beliau dan para sahabat Sholat menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina. Tetapi setelah 16 (enam belas) bulan setelah hijrahnya rasul SAW, beliau rindu kepada Makkah dan Ka’bah yang menjadi kiblat para leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab saat itu. Rasa cinta tanah air Rasulullah terhadap tanah tumpah darahnya juga tampak ketika meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke arah kota Makkah beliau bersabda:

والله انك احب ارض الله الي ولولا ان قومك اخرجوني ما خرجت
Artinya:  Demi Allah, Sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan karena mereka mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya.

Ketika telah sampai di Madinah, beliau juga berdoa kepada Allah sebagaimana sabda beliau:
اللهم حبب الينا المدينة كحبنا المكة واشد.
Artinya: Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah ini kepada kami, sebagaimana engkau mencintakan kami kepada kota Makkah bahkan lebih dari itu (HR. Bukhari, Malik dan Ahmad).



Akhirnya, marilah kita merenungkan kembali pilihan-pilihan fiqh al-da’wah (seni dakwah) kita selama ini. Sudahkan pendekatan dan metode belajar mengajar kita mencerminkan karakteristik Islam sebagai agama yang moderat, yang lebih mengedepankan maslahat ketimbang spekulasi-spekulasi tindakan yang berpotensi menimbulkan kemungkaran baru yang lebih berat dan serius. Semoga kita dapat meneladani kearifan dan kebijaksanaan Rasulullah SAW dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar tanpa kekerasan


Lesson Learned: Moderasi Untuk Indonesiaku Lesson Learned: Moderasi Untuk Indonesiaku Reviewed by Unknown on 15.52 Rating: 5

Masjid Sebagai Labolatorium Karakter Unggulan

15.48

Sudah sering kita mendengarkan kata “masjid” dalam keseharian kita. Makna yang umum terbayang kira-kira adalah tempat shalat, mengaji, atau ritual keagamaan lain umat Islam. Dengan pengertian sederhana ini, makna masjid yang lebih substansial menjadi tak begitu tampak. Tak sepenuhnya keliru dan salah, tapi juga belum mewakili makna masjid secara utuh  dan hakiki.

Masjid berakar dari kata Sajada – Yasjudu yang jika diturunkan sampai pada betuk isim makan (kata tempat) masjid. Arti sajada adalah sujud, tunduk, patuh. Dengan demikian, masjid berarti sarana untuk menunaikan segala aktivitas yang mencerminkan ketundukan kita kepada Allah. Ini menegaskan bahwa masjid adalah tempat yang sangat terhormat dan suci.

Kemuliaan masjid juga tercermin dari sejumlah ayat Al-Qur’an yang menyandarkan kata “masjid” dengan Allah, seperti menyebut dengan frasa masâjida-Llâh (masjid-masjid Allah), bukan masâjidal-muslimîn (masjid-masjid umat Islam). Pakar tafsir Al-Qur’an Prof Muhammad Quraish Shihab mengatakan, kata masjid terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah:


وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS al-Jinn: 18)

Penisbatan nama Allah kepada masjid menunjukkan betapa Islam sangat memuliakan masjid. Demikian luhur dan sucinya tempat tersebut hingga ada ketentuan dalam fiqih tentang keharusan masjid steril daril najis dan orang berhadats besar. Kita juga sering mendengar orang bilang “rumah Allah”. Tentu ini bukan secara harfiah Allah bersemayam di dalam masjid, melainkan bermakna bahwa masjid adalah rumah bagi hamba menjalin kedekatan dengan Allah.

Dengan demikian, inti dari fungsi masjid adalah sebagai tempat menunaikan semua aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan atau ketundukkan kepada Allah. Tapi ini bukan berarti masjid diperuntukkan hanya untuk shalat, sebagaimana disalahpahami sebagaian orang. Sebab bidang-bidang yang menunjukkan kepatuhan tersebut sangat luas. Sejumlah kegiatan sosial atau aktivitas untuk kemaslahatan publik termasuk bagian dari itu.

Masjid didirikan di zaman Nabi tak hanya untuk shalat, melainkan juga menjadi sarana forum-forum pendidikan, tempat menginap, pengelolaan dana umat, hingga penyusunan strategi perang dan pengobatan korban luka para mujahid. Masjid pada zaman Nabi juga menjadi wadah bertemunya seluruh umat Islam tanpa pandang suku ataupun kelas sosial.

Masjid pertama kali didirikan di Quba, kota kecil berjarak sekitar tujuh kilometer dari kota Yatsrib. Proses pendiriannya dilakukan di tengah perjalanan hijrah ke Yatsrib atau yang kemudian berganti nama menjadi Madinah. Dari masjidlah Nabi meletakkan dua fondasi penting dalam satu tempat, yakni kepatuhan total kepada Allah dan kemaslahatan bersama bagi umat.
جُعِلَتْ لِيْ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.” (HR Bukhari)

Masjid yang dikaitkan dengan bumi dalam hadits tersebut mengindikasikan bahwa ia terikat erat dengan fungsi-fungsi sosial. Masjid tak digambarkan seolah hanya bersifat “langit” tapi juga “bumi”. Kenyataan ini menegaskan bahwa Islam menghendaki masjid untuk komunikasi vertikal sekaligus horizontal, hubungan antara hamba dengan Allah sekaligus hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Belakangan ini sering kita dapati masjid juga menjadi sarana untuk kampanye politik praktis tertentu. Apakah yang demikian sesuai dengan fungsi masjid? Kita tahu politik praktis erat kaitannya  dengan politik dukung-mendukung kandidat, saling menjatuhkan, jabatan lima tahunan, atau tujuan duniawi nan jangka pendek lainnya. Mencermati hal demikian, masjid justru keluar dari fungsi hakikinya.

Berbeda halnya jika politik yang dimaksud adalah politik tingkat tinggi, seperti seruan akan persatuan di tengah umat yang majemuk, membangun semangat gotong royong, mewujudkan keadilan sosial, memberantas korupsi, memerangi terorisme, dan lain sebagainya yang merupakan sederet aktivitas yang berdampak maslahat luas, bukan menguntungan golongan tertentu, apalagi sampai memecah-belah umat.

Indikator bahwa Rasulullah tak menghendaki masjid untuk tujuan duniawi nan jangka pendek adalah doa beliau ketika mendapati orang berjualan di masjid:
لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَك
“Semoga Allah tidak menguntungkan jualanmu.”

Ada kemiripan yang sangat dekat antara kampanye politik dan aktivitas perdagangan. Keduanya sama-sama sedang menjajakan “produk”, member tahu keunggulan-keunggulannya, dan kadang ketika kalap bisa menjelek-jelekkan “produk” orang lain. Lingkup keuntunganya pun sangat terbatas, baik perorangan atau sekelompok orang tertentu.

Dengan demikian sudah seyogianya kita bersama-sama menjaga kesucian dan kemuliaan masjid dari berbagai hal yang tak mencerminkan ketundukkan kepada Allah. Masjid adalah tempat untuk mengagungkan nama Allah, dan sarana membangun kemaslahatan bersama, bukan keuntungan individu atau golongan. Mari kita bersama-sama memakmurkan Masjid kita dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam.

Masjid Sebagai Labolatorium Karakter Unggulan Masjid Sebagai Labolatorium Karakter Unggulan Reviewed by Unknown on 15.48 Rating: 5

Kunjungi Website Berikut

Diberdayakan oleh Blogger.